Rabu, 10 November 2010

Sabdopalon nayagenggong,Sosok Satrio Piningit ,Benarkah ini tanda-tanda beliau telah hadir ?

Beberapa tahun terakhir ini kita telah di kejutkan dengan berbagai peristiwa gejala kemurakaan alam nusantara,mulai dari Timbulnya organisasi2 perusak negri(bertopeng agama),diikuti berbagai macam peristiwa pemboman,Peristiwa tsunami aceh,Lumpur lapindo sidoarjo,tsunami di mentawai,letusan anak krakatau,dan yg terbesar adalah Letusan gunung merapi dan segala tanda-tanda  alamnya yg kesemuanya hampir mirip dengan ramalan joyoboyo ataupun ucapan sabdopalon kepada prabu brawijaya v,apakah ini tanda-tanda beliau telah hadir??


Orang jawa menyebutNya; Mbah petruk,Kyai Semar,DiBali orang meneyebut beliau Tualen Merdah, Sabdo Palon Naya Genggong menurut sejarah adalah sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V (
memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat
Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 –
1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan
tentang sosok Putra Betara Indra sbb :
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho;
ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko
proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji
suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan
Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong
tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada
di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi
Sabdopalon dan Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem
trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki
Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane
kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad
raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak
menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba;
raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada
memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh
kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi)
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan
karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena
mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka
akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada
maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan
leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan
penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di
Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan
Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala
tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya,
Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh
Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo
Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka
berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan
berikut ini :
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan,
irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng
bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang
mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang
kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah
wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka
sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya),
kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada
bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata
satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka.
… Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya
(Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua
adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah
diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane
kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah
asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam
ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang
dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau
“Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi,
ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar,
nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon
menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi,
akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang
meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang
bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami
tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar
adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa)
untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada
Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum
manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat
tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi
Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo
Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah
Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur
paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun
ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi
sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên
ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini
Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan
hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan
Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja
Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya
kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia
Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut
dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa
di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa
pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”.
Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar
diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat
mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar
sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam
kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar
yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun
pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên
ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah
Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya
Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon
adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu
berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu
mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah
dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha
Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur
selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya
nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi
tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki
sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah)
. Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk
melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan
yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar
sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo,
Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon
dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon
menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang
sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha,
turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa
sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang
mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang
memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya
hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin
oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti
.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang
wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami,
suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh),
berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan
(yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa
melihat benar salahnya
.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi)
yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti
datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi
“mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan
dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan
akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di
dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa
mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang
pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan
Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging
wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana
banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina
jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah
Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah
sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan
Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi
Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa
membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah
seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut
guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo
Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo PalonKarena Sabdo Palon tidak berkenan
berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan
sabdanya sbb :
3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama
Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula
pisahan.

(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang
Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini
yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus
berpisah.)
4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep
gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa.

(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula
saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan
mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah
Jawa.)
5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken
putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili
lahar.

(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi
makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya
hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila
kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)
6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika
medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta
kaowahan.

(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap.
Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh
Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa
segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)
7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna
manungsa prapteng pralaya.

(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa
ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah
datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya
menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring
gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang
akarya.

(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah
kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo
Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu
kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo.
Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya
akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda
tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke
arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana
lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan
ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”,Diiringi dengan Hadirnya seorang Satrio piningit,atau Ratu adil,beikut ini adalah ramalan ciri2 satrio piningit menurut Ronggowarsito:

Ramalan 7 Satrio Piningit

Dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit , yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :
  1. SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
     
  2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
     
  3. SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.
     
  4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.
     
  5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
     
  6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong / dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkisme seiring prahara yang terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.
     
  7. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Hyang Widhi (Sinisihan Wahyu) dan bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.
     
Saya tertarik menulis blog ini karena tertarik akan tulisan blogger berjiwa nasionalis,realistis,paham dengan ketuhanan yg maha esa.
berikut adalah kutipandari salah satunya:


INTISARI RAMALAN DAN KUTUKAN ITU ADALAH HARI PENGHAKIMAN. itulah ratu adil yg sangat ditakuti kejahatan dan dinanti oleh kebaikan. HARI PENGHAKIMAN
1. Penghakiman bagi semua setan, dan roh-roh orang mati yg belum dihukum sejak awal jaman.
2. Penghakiman seluruh manusia yg hidup atas tingkah lakunya
3. Penghakiman terhadap agama dan kepercayaan manusia, sehingga jelas bg manusia agama mana saja yg berasal dari sang pencipta dan mana yg tidak.
4. Akhirnya muncul peradaban baru dimana semua manusia hanya boleh menyembah satu tuhan sang pencipta dalam satu ajaran kasih.
Karena itulah semua manusia berhati jahat (baik dukun, paranormal dan pemuka agama yg sesat) bersekutu dengan setan untuk menghalangi datangnya Ratu adil itu.
Ingatlah apa yg diucapkan sabda palon itulah yg terjadi. Sama dengan tanda kedatangannya tdk pernah dikatakan kesurupan atau kerauhan.
kembalinya sabda palon berarti kembalinya brawijaya dan sunan kalijaga yg dahulu gagal menangkap dan membunuhnya.
Ingatlah wahai umat.
Raja datang sebagai raja
dewa dewi datang dgn kemuliaan
budha datang dgn kedamaian.
Dari apa yang telah saya sampaikan diatas mudah-mudahan membawa banyak
manfaat bagi kita semua,wasiat-wasiat nenek
moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah
keadaan negeri ini yg penuh cobaan ini akan datang cahaya terang di depan kita,semoga negara yang kita cintai ini Damai dan Sejahtera atas asungkertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Saya pribadi turut berduka cita atas segala malapetaka yg terjadi di Nusantara ini

Semoga damai dihati,didunia,dan damai selalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar